Minggu, 06 Juli 2014

Tarian Joged Bumbung Menjadi Ajang Pornoaksi



Tari Joged Bumbung pernah menjejak masa kejayaannya beberapa tahun silam. Tari pergaulan khas masyarakat Bali yang gemelan pengiringnya didominasi instrumen bambu ini, kerap kali dijadikan "menu utama" untuk menyemarakkan perhelatan-perhelatan penting seperti resepsi perkawinan, perayaan HUT sekaa teruna di banjar-banjar hingga peringatan hari-hari besar nasional yang dirangkaikan dengan gelaran pesta rakyat. Gamelan joged bumbung yang energik dan dinamis ditingkahi dengan gerak penarinya yang lemah-gemulai dan terkadang menyentak memang jadi jaminan terciptanya sebuah pesta yang meriah. Tarian ini begitu populer karena sangat menghibur dan melibatkan para penonton untuk ikut berjoged serta larut dalam irama tari nan rancak.
Gerak-gerik penari joged tak hanya mampu "menghipnotis" komunitas pencinta seni di Bali semata. Pesona tarian yang umumnya ditarikan secara tunggal dengan melibatkan seorang penonton sebagai pengibing secara spontan ini juga mampu menancapkan pesonanya di hati wisatawan mancanegara maupun domestik. Makanya, tidak mengherankan jika pihak pengelola hotel tergerak "meminang" penari joged beserta sekaa yang terlibat di dalamnya untuk pentas di hotel-hotel. "Dihidangkan" dan "dikonsumsi" secara khusus guna memuaskan "dahaga" para turis akan sebuah tontonan seni yang berkualitas dan menghibur.
Sayang, di saat popularitas joged bumbung berada di puncak, pesona tari pergaulan ini justru "dirusak" oleh oknum-oknum yang "berkreasi" secara "liar". Pakem-pakem joged bumbung yang semula menonjolkan kekuatan gerak tari dengan tetap menjaga estetika dan etika ketimuran diporak-porandakan dengan gerakan-gerakan erotis nan sensual bahkan cenderung mengarah ke porno aksi. Keindahan gerak tari tak lagi jadi prioritas. Para penari seolah berlomba-lomba mempertontonkan gerakan-gerakan "terpanas" layaknya seorang penari striptease. Gerakan ngangkuk dan goyang ''ngebor'' yang semula tidak dikenal dalam tarian Bali, berubah jadi hal yang lumrah dalam tarian joged bumbung. Etika dan estetika seperti tak penting lagi. Yang penting, penonton senang dan penampilan penari joged menuai aplaus dan suit-suit panjang dari penonton.
Lebih menyedihkan lagi, ada penari joged bumbung yang tanpa perasaan bersalah nekat mempertontonkan "area terlarangnya" seperti yang sempat terekam di HP yang sempat menghebohkan jagat seni pertunjukan Bali beberapa tahun lalu. Citra joged bumbung pun langsung terbanting. Stempel negatif langsung disematkan bahwa joged bumbung merupakan tarian erotis, porno dan murahan. Karena nila setitik, sebelanga susu pun jadi rusak. Padahal, masih banyak pragina joged yang dengan kesadaran tinggi tetap berkreasi di jalur yang benar. Tetap mengedepankan etika dan estetika serta sepenuhnya mengabdi pada keluhuran seni. "Lahirnya gerakan-gerakan porno dalam tarian joged bumbung tentu sangat disayangkan. Pelaku kesenian seperti ini, sejatinya telah menjatuhkan citra adiluhung dari kesenian itu sendiri
Masalah yang terakhir inilah yang banyak disoroti masyarakat, khususnya pada penampilan Joged yang disertai birahi vulgar. Tentu tata busana dan estetika musik pertunjukan ini menunjukkan perkembangan yang bisa jadi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan gelegak erotisme kesenian ini di masa lalu dan kini. Pada zaman kerajaan Bali, kesenian ini dikuasai oleh raja dan kaum bangsawan. Bahkan diduga kuat antara Joged dan perseliran punya interaksi          erat.

Pencinta seni budaya Bali ini berharap para pragina joged bumbung tidak lagi berkreasi secara "liar" dengan melabrak tatanan kesusilaan yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Bali. Guna menggapai popularitas, penari joged tak perlu bergoyang secara berlebihan yang membuat mata penonton melotot dan darahnya "muncrat" hingga ke ubun-ubun. "Sejatinya, gerak tari joged bumbung sudah dirancang begitu estetis dan artistik. Jadi, tidak perlu dibumbui dengan gerakan-gerakan sensual dan erotis yang justru membuat kesenian ini terkesan murahan,"
Secara etno-estetik, tari Joged Bumbung adalah ekspresi seni yang patut diapresiasi. Tetapi karena kini tidak sedikit penari Joged yang mengumbar porsi pornonya begitu murahan, menjungkirkan tontonan ini menjadi seni bercitra rendahan. Namun ironisnya, kendati secara moralitas dan religio-estetik dilecehkan, kenyataannya Joged yang tampil dengan bonus goyang pornonya malahan kini sedang "murah rezeki". Cercaan oleh sebagian masyarakat justru kian membuat para penari Joged yang lepas dengan sensualitas mesum itu kian melambung laris. Apakah UUAP yang telah mulai diberlakukan, yang mungkin akan mampu meredam birahi liar dalam pertunjukan Joged          tersebut?

Terlepas dari masih adanya pro dan kontra di tengah masyarakat Bali terhadap UUAP, secara kultural dan moralitas, fenomena Joged yang membeberkan libido erotis dan fragmen-fragmen persetubuhan dalam bingkai suatu pertunjukan yang disaksikan oleh masyarakat umum adalah sebuah asusila sosial. Kendati Joged dapat digolongkan sebagai tari pergaulan, namun dalam tradisi pementasannya bukan merupakan hiburan pribadi bagi para pelakunya  penari atau       pengibingnya.

Joged Bumbung adalah seni pertunjukan yang melibatkan partisipasi penonton, termasuk anak-anak. Oleh karena itu perilaku erotisme yang "diestetisasikan" dalam ruang publik seperti tampak dalam Joged porno adalah sebuah penistaan terhadap kepatutan yang dihormati masyarakat. Tanpa dalih UUAP pun, bentuk, ungkapan, dan fenomena yang tak senonoh dengan legitimasi jagat seni sudah tentu kurang mendapat restu masayarakat                
Masyarakat Bali penyayang kesenian, termasuk tari Joged Bumbung. Sebagai sebuah khasanah budaya, Joged Bumbung selain tetap eksis di tengah masyarakatnya sendiri juga memancarkan multipotensi. Dalam konteks pariwisata, Joged Bumbung termasuk kemasan seni yang fleksibel berinteraksi dengan pelancong mancanegara. Fleksibelitas yang dimiliki kesenian ini, tahun lalu, bahkan sempat dilirik untuk dijadikan simbol dan mediator strategi budaya oleh Putu Supadma Rudana, Direktur Museum Rudana, dengan tajuk "Sinergi Seni Membangun            Bangsa".
Dari beberapa narasumber mengatakan bahwa tarian joged dalam masa kini merupakan tarian erotis, dimana lebih banyak memperlihatkan kelihaiannya bergoyang daripada menari. Dan sebagian besar penari joged tidak mengetahui struktur dari tarian joged sebenarnya. Dimana dalam menari struktur tarian sangatlah penting untuk dipahami agar tarian tersebut tidak lepas dari pakem-pakem yang sudah ada.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penari joged lebih banyak memperlihatkan goyangannya daripada menari antara lain, karena dorongan seka tabuh yang mengiringi tari joged tersebut. Hal itu dikarenakan penabuh juga kurang mengetahui struktur tabuh dari tarian joged. Di samping itu karena tuntutan dari keluarga yang mempunyai upacara atau sebagai pencari seka joged tersebut. Mereka meminta agar si penari joged lebih banyak beratraksi goyang ketika pentas berlangsung untuk menarik perhatian penonton sehingga lebih ramai. Tetapi ada juga faktor internal dari penari joged itu sendiri, salah satu mengatakan bahwa “Tak goyang,maka tak asik”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar