Tari Joged Bumbung pernah menjejak masa kejayaannya beberapa tahun silam. Tari pergaulan
khas masyarakat Bali yang gemelan pengiringnya didominasi instrumen bambu ini,
kerap kali dijadikan "menu utama" untuk menyemarakkan
perhelatan-perhelatan penting seperti resepsi perkawinan, perayaan HUT sekaa
teruna di banjar-banjar hingga peringatan hari-hari besar nasional yang
dirangkaikan dengan gelaran pesta rakyat. Gamelan joged bumbung yang energik
dan dinamis ditingkahi dengan gerak penarinya yang lemah-gemulai dan terkadang
menyentak memang jadi jaminan terciptanya sebuah pesta yang meriah. Tarian ini
begitu populer karena sangat menghibur dan melibatkan para penonton untuk ikut
berjoged serta larut dalam irama tari nan rancak.
Gerak-gerik
penari joged tak hanya mampu "menghipnotis" komunitas pencinta seni
di Bali semata. Pesona tarian yang umumnya ditarikan secara tunggal dengan
melibatkan seorang penonton sebagai pengibing secara spontan ini juga mampu
menancapkan pesonanya di hati wisatawan mancanegara maupun domestik. Makanya,
tidak mengherankan jika pihak pengelola hotel tergerak "meminang"
penari joged beserta sekaa yang terlibat di dalamnya untuk pentas di
hotel-hotel. "Dihidangkan" dan "dikonsumsi" secara khusus
guna memuaskan "dahaga" para turis akan sebuah tontonan seni yang
berkualitas dan menghibur.
Sayang, di
saat popularitas joged bumbung berada di puncak, pesona tari pergaulan ini
justru "dirusak" oleh oknum-oknum yang "berkreasi" secara
"liar". Pakem-pakem joged bumbung yang semula menonjolkan kekuatan
gerak tari dengan tetap menjaga estetika dan etika ketimuran diporak-porandakan
dengan gerakan-gerakan erotis nan sensual bahkan cenderung mengarah ke porno
aksi. Keindahan gerak tari tak lagi jadi prioritas. Para penari seolah
berlomba-lomba mempertontonkan gerakan-gerakan "terpanas" layaknya
seorang penari striptease. Gerakan ngangkuk dan goyang ''ngebor'' yang semula
tidak dikenal dalam tarian Bali, berubah jadi hal yang lumrah dalam tarian
joged bumbung. Etika dan estetika seperti tak penting lagi. Yang penting,
penonton senang dan penampilan penari joged menuai aplaus dan suit-suit panjang
dari penonton.
Lebih
menyedihkan lagi, ada penari joged bumbung yang tanpa perasaan bersalah nekat
mempertontonkan "area terlarangnya" seperti yang sempat terekam di HP
yang sempat menghebohkan jagat seni pertunjukan Bali beberapa tahun lalu. Citra
joged bumbung pun langsung terbanting. Stempel negatif langsung disematkan
bahwa joged bumbung merupakan tarian erotis, porno dan murahan. Karena nila
setitik, sebelanga susu pun jadi rusak. Padahal, masih banyak pragina joged
yang dengan kesadaran tinggi tetap berkreasi di jalur yang benar. Tetap
mengedepankan etika dan estetika serta sepenuhnya mengabdi pada keluhuran seni.
"Lahirnya gerakan-gerakan porno dalam tarian joged bumbung tentu sangat
disayangkan. Pelaku kesenian seperti ini, sejatinya telah menjatuhkan citra
adiluhung dari kesenian itu sendiri
Masalah yang terakhir inilah yang banyak disoroti
masyarakat, khususnya pada penampilan Joged yang disertai birahi vulgar. Tentu
tata busana dan estetika musik pertunjukan ini menunjukkan perkembangan yang
bisa jadi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan gelegak
erotisme kesenian ini di masa lalu dan kini. Pada zaman kerajaan Bali, kesenian
ini dikuasai oleh raja dan kaum bangsawan. Bahkan diduga kuat antara Joged dan
perseliran punya interaksi erat.
Pencinta
seni budaya Bali ini berharap para pragina joged bumbung tidak lagi berkreasi
secara "liar" dengan melabrak tatanan kesusilaan yang selama ini
dipegang teguh oleh masyarakat Bali. Guna menggapai popularitas, penari joged
tak perlu bergoyang secara berlebihan yang membuat mata penonton melotot dan
darahnya "muncrat" hingga ke ubun-ubun. "Sejatinya, gerak tari
joged bumbung sudah dirancang begitu estetis dan artistik. Jadi, tidak perlu
dibumbui dengan gerakan-gerakan sensual dan erotis yang justru membuat kesenian
ini terkesan murahan,"
Secara etno-estetik, tari Joged Bumbung
adalah ekspresi seni yang patut diapresiasi. Tetapi karena kini tidak sedikit
penari Joged yang mengumbar porsi pornonya begitu murahan, menjungkirkan
tontonan ini menjadi seni bercitra rendahan. Namun ironisnya, kendati secara
moralitas dan religio-estetik dilecehkan, kenyataannya Joged yang tampil dengan
bonus goyang pornonya malahan kini sedang "murah rezeki". Cercaan
oleh sebagian masyarakat justru kian membuat para penari Joged yang lepas
dengan sensualitas mesum itu kian melambung laris. Apakah UUAP yang telah mulai
diberlakukan, yang mungkin akan mampu meredam birahi liar dalam pertunjukan
Joged tersebut?
Terlepas dari masih adanya pro dan kontra di tengah masyarakat Bali terhadap UUAP, secara kultural dan moralitas, fenomena Joged yang membeberkan libido erotis dan fragmen-fragmen persetubuhan dalam bingkai suatu pertunjukan yang disaksikan oleh masyarakat umum adalah sebuah asusila sosial. Kendati Joged dapat digolongkan sebagai tari pergaulan, namun dalam tradisi pementasannya bukan merupakan hiburan pribadi bagi para pelakunya penari atau pengibingnya.
Joged Bumbung adalah seni pertunjukan yang melibatkan partisipasi penonton, termasuk anak-anak. Oleh karena itu perilaku erotisme yang "diestetisasikan" dalam ruang publik seperti tampak dalam Joged porno adalah sebuah penistaan terhadap kepatutan yang dihormati masyarakat. Tanpa dalih UUAP pun, bentuk, ungkapan, dan fenomena yang tak senonoh dengan legitimasi jagat seni sudah tentu kurang mendapat restu masayarakat
Terlepas dari masih adanya pro dan kontra di tengah masyarakat Bali terhadap UUAP, secara kultural dan moralitas, fenomena Joged yang membeberkan libido erotis dan fragmen-fragmen persetubuhan dalam bingkai suatu pertunjukan yang disaksikan oleh masyarakat umum adalah sebuah asusila sosial. Kendati Joged dapat digolongkan sebagai tari pergaulan, namun dalam tradisi pementasannya bukan merupakan hiburan pribadi bagi para pelakunya penari atau pengibingnya.
Joged Bumbung adalah seni pertunjukan yang melibatkan partisipasi penonton, termasuk anak-anak. Oleh karena itu perilaku erotisme yang "diestetisasikan" dalam ruang publik seperti tampak dalam Joged porno adalah sebuah penistaan terhadap kepatutan yang dihormati masyarakat. Tanpa dalih UUAP pun, bentuk, ungkapan, dan fenomena yang tak senonoh dengan legitimasi jagat seni sudah tentu kurang mendapat restu masayarakat
Masyarakat
Bali penyayang kesenian, termasuk tari Joged Bumbung. Sebagai sebuah khasanah
budaya, Joged Bumbung selain tetap eksis di tengah masyarakatnya sendiri juga
memancarkan multipotensi. Dalam konteks pariwisata, Joged Bumbung termasuk
kemasan seni yang fleksibel berinteraksi dengan pelancong mancanegara. Fleksibelitas
yang dimiliki kesenian ini, tahun lalu, bahkan sempat dilirik untuk dijadikan
simbol dan mediator strategi budaya oleh Putu Supadma Rudana, Direktur Museum
Rudana, dengan tajuk "Sinergi Seni Membangun Bangsa".
Dari beberapa
narasumber mengatakan bahwa tarian joged dalam masa kini merupakan tarian
erotis, dimana lebih banyak memperlihatkan kelihaiannya bergoyang daripada
menari. Dan sebagian besar penari joged tidak mengetahui struktur dari tarian
joged sebenarnya. Dimana dalam menari struktur tarian sangatlah penting untuk
dipahami agar tarian tersebut tidak lepas dari pakem-pakem yang sudah ada.
Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi penari joged lebih banyak memperlihatkan goyangannya
daripada menari antara lain, karena dorongan seka tabuh yang mengiringi tari
joged tersebut. Hal itu dikarenakan penabuh juga kurang mengetahui struktur
tabuh dari tarian joged. Di samping itu karena tuntutan dari keluarga yang
mempunyai upacara atau sebagai pencari seka joged tersebut. Mereka meminta agar
si penari joged lebih banyak beratraksi goyang ketika pentas berlangsung untuk
menarik perhatian penonton sehingga lebih ramai. Tetapi ada juga faktor
internal dari penari joged itu sendiri, salah satu mengatakan bahwa “Tak
goyang,maka tak asik”.